Rabu, 11 Maret 2015

untuk kamu


semua orang pasti pernah mengalami itu,
datang lalu pergi yah... semuanya pernah, termasuk aku
mereka datang pergi silih berganti, seperti mentari kala mengitari bumi ini
datang dari ufuk timur dan pergi lewat arah yg kita namai dg barat
lalu Tuhan mempertemukan aku dg kamu, yahh kamu yang terindah yang pernah ada,
bukan hanya terindah tapi selama aku bernafas hanya kamu, lelaki kedua setelah ayahku
kamu mengajarkanku berbagai hal tentang kebaikan, menuntun dg penuh kasih dan sayang tanpa ada kata lelah dihatimu,
namun, tiba2 kamu menghilang begitu saja.
tanpa alasan dan tanpa sepatah kata pun,
kenapa kamu kini seperti mereka? yang datang lalu pergi? kamu sudah tau hatiku terarah untukmu, bukan untuk yg lain
tapi ah ... sudahlah, kamu pasti punyai alasan yang mungkin hanya kamu dan Tuhan yang tahu..
entah mengapa aku merasa kamu slalu mendampingiku seperti hari-hari biasa meski dalam kebisuan.
kutapaki jejak langkah kita, dipertemuan awal aku dan kamu hingga saat itu, beberapa hari teakhir di bulan september.
kita duduk berdampingan seperti seorang kekasih, bercanda tertawa dan saling bercerita...
ah.. aku tak kuasa menahan gejolak kerinduanku, hingga ku ucapkan bait2 nadaku bersama Tuhan.. di setiap sujudku
entah mengapa aku juga meyakini kalau kamu akan kembali... apa aku salah?
tapi sebelum itu, biarkan aku mencintaimu, yahhh mencintai kamu dalam sayup2 keheninganku bersama Tuhan... :) 

Selasa, 10 Maret 2015

Dibalik Sebuah Kerinduan



Samar namun pasti suara adzan mulai terdengar merdu. Aku terbangun dari lelapku melepaskan segenap rasa lelah yang menerpaku malam tadi. Ku lihat jam di handphone kesayanganku. Ternyata masih jam 3, ku kira sudah subuh tapi ternyata masih adzan pertama, gumamku dalam hati. Ingin rasanya mata tuk terpejam lagi, melampiaskan segenap lelah yang masih menjalar di tubuh. Namun sebelum mata sempat terpejam, tiba-tiba hatiku ingin melaksanakan sholat malam dua rakaat yang biasa disebut dengan sholat tahajjud. Dengan sedikit rasa kantuk yang masih menjalari tubuh aku terbangun dan memantapkan niat. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Dengan semangat ku lantunkan niat sholat tahajjud dua rakaat dalam hati. Waktu sujud aku berdoa, doa yang slama ini aku lantunkan dalam setiap sholatku. Kulantunkan ayat-ayat suci untuk mengobati rinduku pada makhlukNya. Sudah satu tahun lamanya aku menunggunya, dia yang setiap saat kulantunkan dalam setiap doa-doaku. Ya, semenjak saat itu, aku tak lagi bisa menghubunginya, entah sekarang seperti apa kabarnya. Dia lelaki hebat yang sangat aku rindukan. Lelaki yang merubah segala kebiasaan buruk dalam diriku. Lelaki hebat yang tegas dalam setiap ajaranNya, namun aku telah kehilangan dia. Hanya ucapannya kali itu yang membuatku tenang dan aku aminkan dalam setiap doa-doaku. Kembali kuteteskan bulir-bulir bening kala aku mengingatnya.
Satu jam telah berlalu, namun tak pernah aku merasa lelah melantunkan ayat-ayat suciNya. Adzan subuh telah memanggil setiap makhluk yang tertidur. Aku bergegas menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumah.
Menjelang siang, matahari semakin meninggi. Suara burung camar pun menyapaku saat aku bergegas merapikan file-file yang ku butuhkan untuk bimbingan kali ini. Kulihat jam tangan kesayanganku menunjukkan pukul 07.30, aku rapikan data-data yang aku perlukan dan bergegas untuk meninggalkan kamar kos tercinta seraya melajukan motor butut kesayangan menuju ke kampus tercinta.

***

“Zamzami Maulida Abas, silahkan masuk” ucap sekretaris dosen pembimbingku.
“Iya mbak terimakasih” jawabku seraya meninggalkan tempat duduk menuju ke dalam ruangan dosenku.
Satu jam telah berlalu, berbagai hal aku bicarakan dengan dosen pembimbing satu mengenai skripsi yang sedang aku kerjakan. Sebelumnya, namaku seperti yang telah terlihat di atas, Zamzami Maulida Abas umurku sekarang 21 tahun yang sedang menempuh skripsi di perguruan tinggi negeri di luar kota. Aku berpenampilan biasa saja dan cenderung cuek kalau disinggung masalah penampilan. Aku berperawakan mungil dengan pipi tembem hidung sedikitlah lebih mancung dan berkerudung. Tentu saja tak lupa kacamataku yang menambah kesan culun untukku, tapi aku cuek saja. Orang pertama mengenalku pasti mengatakan aku kurang menarik, judes, dan terbilang acuh atau cuek. Namun jika orang yang benar-benar mengenalku maka sudah pasti bilang terlalu cerewet namun ramah. Ya.. singkat saja mengenai aku.
Siang ini matahari lagi tak bersahabat. Matahari sedang bersembunyi di balik awan hitam dan disusul hujan yang turun dengan derasnya, padahal bulan ini sedang memasuki musim kemarau. Terpaksa aku harus menunggu hujan hingga reda karena aku membawa berbagai data penting di tasku sedangkan karena kupikir hari ini lagi cerah maka aku tak membawa jas hujan. Berdiam diri sendirian di lobi graha utama kampusku sudah menjadi hal biasa buatku, ya… aku sudah biasa melakukan apapun sendirian karena tak ingin merepotkan orang lain demi kepentingan pribadiku. Sambil mendengarkan beberapa lagu dari Taylor Swift aku bermain game untuk mengusir rasa suntukku, karena memang sudah hampir setahun lalu aku tidak mempunyai teman untuk ngobrol di sosial media meskipun handpone kesayanganku merupakan termasuk handpone yang canggil di jamanku ini.
Sebenarnya, banyak sekali orang yang mengajakku untuk mengobrolkan beberapa hal yang menurutku sih tidak penting untuk dibahas namun lambat laun mereka kesal padaku karena sikap cuekku hingga tak pernah ada lagi yang menghubungiku. Itu karena hanya ada satu orang yang aku inginkan untuk chatting bersamaku, bukan yang lain. Dia adalah lelaki yang merubahku menjadi wanita yang jauh lebih baik dari kehidupanku yang sebelumnya. Dia yang menunjukkanku berbagai hal kebaikan, yang tak pernah dilakukan orang lain kepadaku kecuali almarhum ayahku waktu aku kecil dulu. Ya, ayahku memang sudah lama meninggal, tepatnya 12 tahun silam saat usiaku baru menginjak 9 tahun. Namun obrolan kami itu sudah lama sekali berakhir, terakhir terjadi pada bulan Oktober tahun lalu namun karena kesalahanku memang, dia tiba-tiba menghilang begitu saja meninggalkan beberapa harapan yang masih menjadi pertanyaan besar dalam hidupku kali ini. Aku sangat menyayanginya. Satu alasan, hanya karena dia sangat mencntai Tuhan dan sangat tegas dalam agama.
Dua jam telah berlalu, namun hujan tak kunjung menunjukkan persahabatannya padaku, padahal ada beberapa hal lain yang ingin aku lakukan hari ini. Terutama untuk melaksanakan tanggung jawabku di organisasi pecinta alamku sebagai penanggung jawab kegiatan bhakti masyarakat. Tapi apa mau dikata, alam lagi tak bersahabat. Rasa kantuk tiba-tiba menjalar di mataku, mungkin karena susana yang memang begitu nyaman jika digunakan untuk tidur, juga karena tadi malam aku hanya tidur beberapa jam saja, guna menyelesaikan beberapa data untuk bimbinganku hari ini.
“permisi mbak,” ucap salah seorang disampingku. Aku hanya memperbaiki posisi dudukku tanpa melihat orang yang sedang duduk di sampingku. “permisi mbak,” ucapnya lagi, dan membuatku kesal. Mengganggu kesenanganku bermain game saja, gerutuku dalam hati. Dengan malas aku menoleh ke arah orang itu.
“iya ada ap…” ucapanku terhenti saat itu. Sungguh tak aku duga, orang yang sedang di sebelahku ini mirip sekali dengan dia. Dia orang yang sangat aku sayangi. Ya.. memang dia dulu adalah alumni kampusku ini, namun aku tahu dia sudah bekerja di salah satu perusahaan di kota tempat tinggalnya. Ku tepis perasaanku itu, karena aku tak yakin itu dia. Aku mungkin sedang menghayal saja. “eh maaf, ada apa ya?” ucapku dengan nada yang seperti biasanya aku ucapkan pada orang lain.
“Ruangannya pak Budi dimana ya mbak?” lanjutnya.
“pak Budi dari fakultas hukum?” tanyaku.
“iya mbak” jawabnya.
“oh, di lantai 4” jawabku cuek dan kembali dengan aktivitasku yaitu bermain game.
“terimakasih mbak” ucapnya seraya meninggalkanku.
“hemm” jawabku tanpa menolehkan mukaku. Kemudian dia pun beranjak pergi meninggalkanku.
Tak lama setelah dia pergi, ku lihat Pak Budi di lobi tepatnya sedang duduk beberapa meter di depanku sedang menerima telephone dari seseorang. Samar-samar beliau memanggil orang yang sedang di telponnya itu dengan nama dit. Ucapannya itu membuat detak jantungku seolah-olah terhenti seketika. Aku kecilkan volume mp3 yang sedang aku dengarkan, dan pandanganku beralih pada pak Budi yang saat itu terlihat sedang menunggu seseorang.
Tak berapa lama kemudian, ada dua orang yang mendatanginya hemm kembali lega perasaanku kala itu. Namun sebelum aku kembali melanjutkan aktivitasku bermain game, pak budi seperti memanggil nama Muhammad Aditya Fatih. Membuat tubuhku bergetar seketika, dan aku mencoba untuk mendongakkan kepalaku. Ternyata benar, orang tadi yang menanyakanku ruangan pak Budi. Aku tercengang, membuat denyut nadiku seakan-akan terhenti seketika. Aku tak peduli pada game yang sedang aku mainkan saat itu telah kalah telak. Pandanganku tak lepas pada pak Budi dan orang yang sedang mengobrol dengan beliau. Tak terasa bulir-bulir air mataku luruh. Ternyata dia benar-benar orang yang aku rindukan selama ini, orang yang aku tunggu kehadirannya, dan sangat aku nantikan menjadi imam di keluarga kecilku nanti. Tapi apakah dia tak mengenaliku? Apakah dia telah lupa denganku? Ataukah dia telah bersama wanita lain yang memang jauh lebih baik dariku? Pertanyaan itu seketika membuat hatiku sakit. Namun aku lihat pada penampilanku kali ini. Aku memakai celana jeans, kaos oblong dengan baju berkerah di luarnya, kerudung polos yang aku pasang biasa saja dan kacamata kesayanganku, sehingga menampilkan kesan culun bahkan sangat culun dan orang yang kenal jauh mungkin tidak bisa mengenaliku.
Ku usap air mataku, kupandangi wajah yang aku rindukan. Aku hilangkan rasa sakit dalam hatiku dan kugantikan dengan perasaan bahagia. Aku bersyukur masih bisa melihatnya, meski dengan tak terduga. Aku tersenyum.
Kulihat di luar gedung, hujan telah reda dan digantikan dengan rintik-rintik. Kuteguhkan hatiku, dan dengan segala kekuatanku aku mencoba berdiri dan  beranjak dari tempatku duduk. Kuahmpiri pak Budi yang memang sudah aku kenal dekat berkat organisasiku. Ku sapa beliau dan sedikit bercanda dengan beliau. Kulirik orang yang berada disebelahnya sedang memperhatikanku.
“Gimana mbak zam kegiatan bhakti masyarakatnya?” tanya pak Budi.
“Alhamdulillah pak, tinggal beberapa surat yang belum saya masukkan ke kecamatan dan polsek setempat, selebihnya sudah disetujui” jawabku dengan senyuman ramah. Aku kemudian meminta izin untuk kembali ke tempat kos ku karena ada beberapa hal yang ingin aku lakukan. Beliau pun mengizinkanku pergi.
Samar-samar aku dengar Pak Budi dan orang di sebelahnya sedang membicarakanku tapi ah aku tak peduli. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku untuk beranjak meninggalkan tempat itu. Di tempat parkir, aku kembali tak bisa menahan air mataku. Kerinduanku begitu dalam kepadanya. Setiap bait doa yang aku ucapkan agar aku dapat bertemu dengannya, dan ini adalah salah satu jawabannya.
“Mbak, terimakasih ya” ucap seseorang mengagetkanku. Ku usap air mataku cepat-cepat dan menoleh ke arah orang tersebut. Deg… ternyata itu dia, mas Adit yang sangat aku rindukan. Aku mencoba kuat, aku mencoba untuk pura-pura tidak mengenalinya, hanya senyuman yang aku berikan kepadanya karena bibir pun tak mampu berucap. Kemudian aku beranjak pergi dengan motor butut kesayanganku, meninggalkan dia yang begitu aku rindukan.

***

   Kulantunkan beberapa ayatNya guna mengusir kesedihanku pagi ini. Lantunan ayat-ayat suciNya setelah melaksanakan sholat malam dua rakaat sepertinya sudah menjadi kebiasaanku untuk mencurahkan segenap kerinduanku kepadaNya. Aku masih terbayang-bayang wajahnya beberapa hari yang lalu. Wajah orang yang sangat aku rindukan kehadirannya. Orang yang slama ini tak pernah lepas disetiap ceritaku kepada Tuhan. Aku menghela nafas sejenak mengusir kesedihanku setelah melantunkan ayat-ayat suciNya. Aku mencoba untuk menenangkan fikiranku. Kuhapus segenap kesedihanku dengan terus menyebut namanya, aku berdzikir.
Hari ini adalah hari yang sangat sibuk bagiku. Beberapa jadwal telah aku siapkan, karena hari ini aku akan mengadakan bhakti masyarakat bersama anak organisasiku. Setelah bersih-bersih kamar tidurku, aku bergegas menyiapkan beberapa perlengkapan yang mungkin aku perlukan saat bhakti masyarakat. Setelah semuanya dirasa siap, aku menuju ke sekretariatku dan mengumpulkan anggota-anggotaku untuk menuju ke desa tempat kami akan melakukan kegiatan sosial tersebut.
Perjalanan yang lumayan panjang kami lakukan, dan akhirnya sampai juga ke desa tujuan kami. Salah satu desa terpencil di kota tempat aku menimba ilmu selama hampir 3,5 tahun ini. Beberapa junior dan seniorku terlihat telah mempersiapkan berbagai hal yang akan kami pergunakan nantinya, sedang aku dan ketua panitia kegiatan menemui bapak kepala desa untuk memberitahukan beberapa hal yang akan kami lakukan.
Hari sudah beranjak sore, matahari mulai kembali ke peraduannya. Saat itu aku dan anak-anak organisasi pecinta alamku baru selesai melakukan bersih desa bersama orang-orang desa tersebut setelah siang tadi melaksanakan beberapa penyuluhan tentang kesehatan lingkungan. Kami mengajak warga setempat untuk membiasakan hidup bersih dan memberikan beberapa obat-obatan yang biasa digunakan untuk sakit yang umum terjadi, misalnya panas, pusing, diare, dan sebagainya. Matahari telah benar-benar menghilankan jejaknya, hari sudah beranjak gelap. Sesuai kesepakatan, kami akhirnya menginap di desa tersebut dengan menempati rumah dinas bapak kepala desa yang sedang tidak dipergunakan.
Malam hari, tepatnya setelah sholat isya’ berjamaah kami laksanakan –tentunya untuk anggota yang beragama islam-, kami bergegas menuju ke balai desa. Mempersiapkan proyektor dan LCD serta berbagai macam benda yang akan kami pergunakan untuk memeriahkan desa tempat kami singgah ini. Bebrapa warga mulai berdatangan, mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak hingga anak remaja dan para anak-anak kecil. Mungkin memang karena malam itu adalah malam minggu, sehingga mereka bersenang ria untuk datang ke acara kami. Mereka sepertinya menunggu beberapa hal yang akan kami suguhkan. Setelah banyak yang berkumpul, kami memulai acara tersebut dengan berbagai permainan, mulai dari anak-anak hingga ibu-ibu rumah tangga pun sangat antusias atas permainan yang kami suguhkan. Tiga puluh menit telah berlalu, kami mengganti acara dengan menonton film bersama. Dengan memutarkan beberapa film tentang petualangan. Kami melihat warga pun menontonnya dengan sangat antusias sekali.

***

   Kulangkahkan jejak kakiku menuju gedung graha utama kampusku dengan jantung yang berdebar-debar. Bukan karena kondisiku lagi kurang fit, tapi karena hari ini adalah hari penentuanku setelah menempuh bangku perkuliahan selama kurang lebih 3,5 tahun ini. Subuh tadi aku menghubungi seluruh keluargaku di kampung untuk meminta restu dan doa dari mereka. Keringat dingin membasahi wajahku, ya.. hari ini adalah hari persidanganku atau lebih tepatnya sidang skripsi. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para mahasiswa pada umumnya, namun juga yang paling ditakuti, karena ini adalah penentuan. Bibirku tak henti-hentinya menyerukan namaNya, sholawat serta tak lupa aku haturkan untuk rosulku tercinta. Ketika nama dan no indukku dipanggil, aku menghela nafas dalam-dalam, memantapkan tekadku seraya berucap basmalah dalam hati.
Ku ketuk pintu ruang persidangan itu, “silahkan masuk” ucap salah satu pengujiku. Setelah ku buka pintu ruang itu, sedikit ada perasaan lega namun takut juga tak henti-hentinya memasuki diriku. Ternyata pengujiku hari ini adalah beliau yang sangat dekat denganku dan juga ada salah satu dosen yang sering beradu ucap denganku, bukan karena aku bandel namun karena aku sering bertanya tentang beberapa hal yang tidak beliau ketahui.
“Hhhhmmm…” aku menghela nafas dalam-dalam. “siang bapak” sapa ku kemudian dengan penuh senyuman.
“Iya siang juga mbak Zam” jawab pak Wawan, dosen yang sangat akrab denganku.
“Hemmm judul skripsimu sangat menarik” ucap pak Priyanto, dosen yang sering berdebat denganku. “Coba kamu jelaskan secara detail, jangan membingungkan oke” ucapnya kemudian.
“Baik pak” ucapku tegas. Oh iya, hari ini adalah hari penentuanku. Hari dimana para mahasiswa pada umumnya mungkin telah senam jantung, namun hari ini aku berusaha menghadapinya dengan tenang. Rok hitam yang aku pergunakan aku setrika sangat rapi, sepatu fantovel hitam dengan kaos kaki putih menutupi kakiku, tak lupa pula jas almamater kampus dan kerudung hitam menghiasi kepalaku. Aku hari ini berpenampilan berbeda, aku ingin kelihatan menarik di depan dosen pengujiku. Menggunakan beberapa rias wajah yang natural dan melepas kacamataku sejenak untuk menghilangkan kesan suntuk di wajahku. Aku lakukam semua itu karena aku ingin kelihatan rapi di depan dosen pengujiku. “skripsi saya dengan judul Pengaruh Pendidikan Lingkungan Hidup terhadap Perilaku Siswa Kelas Bawah SDN Demangan V ini berisi tentang bla bla blaa…” aku menjelaskan dengan tegas dan detail kepada bapak pengujiku, meski hatiku berdebar-debar, namun aku slalu berdoa dan meminta pertolongan dariNya.
“hemm… menarik juga, namun ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan” ucap pak Rikza, dosen penguji tiga. “begini, ada beberapa hal yang sangat mengganjal disini.. bla bla bla” beberapa pertanyaan oleh beliau dan disusul lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lain dari pengujiku yang lain. Namun aku sangat bersyukur, karena pertanyaan tersebut dapat aku jawab dengan mudah. Itu karena aku benar-benar serius mengerjakan skripsi ini dan mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab, sehingga apapun yang dipertanyakan kepadaku bisa aku jawab dengan mudah.
“ya sudah, silahkan keluar..” ucap pak Wawan sebelum aku selesai menjelaskan beberapa hal yang beliau tanyakan. Seketika itu aku tercengang dan kaget. Serasa jantungku terhenti seketika. Berbagai pertanyaan menggelayut di fikiranku, hingga aku takut kalau ucapan itu menandakan aku gagal dalam ujian “kenapa diam? Silahkan keluar… skripsimu sangat menakjubkan kami” ucapnya kemudian yang membuat mataku langsung berkaca-kaca. Langsung saja aku sujud syukur di tempat itu, kemudian aku menyalami dosen-dosenku, mereka semua ternyata sangat mendukungku. Kemudian kulangkahkan kakiku ke luar ruangkan dengan ucap syukur yang tak henti-hentinya kepada Pencipta alam semesta. Ternyata perjuanganku slama ini tidak sia-sia, gumamku dalam hati.
Setibanya di kos, aku langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat guna rasa syukurku kepadaNya. Tak henti-hentinya aku berucap syukur dan menyebut namaNya. Menyeruakkan kebesaranNya atas keyakinanku yang slama ini slalu dijawab olehNya. Tiba-tiba aku teringat akan lelaki itu, lelaki yang sudah setahun lebih ada dalam relung hatiku yang paling dalam. Lelaki yang membuat hidupku lebih berarti. Dulu dia slalu menyemangatiku, dulu dia yang slalu menasehatiku jika aku melupakan kebesaranNya, namun kini disaat aku tlah berubah menjadi jauh lebih baik dia tak ada disampingku. Ya Allah dimanakah dia? Apa yang sedang dia lakukan? Aku sangat merindukannya, andai dia saat ini sedang bersamaku, gumamku dalam hati. Ku kuatkan hatiku dan membereskan peralatan sholatku. “alhamdulillah aku lulus” ucapku sembari tersenyum sendiri.
Aku mengaktifkan handpone kesayanganku yang sedari tadi aku non aktifkan agar tak mengganggu konsentrasiku saat persidangan. Beberapa sms masuk dari teman, sahabat dan saudara-saudaraku di pecinta alam menanyakan bagaimana hasil persidanganku tadi. Aku membalas pesan singkat mereka dengan penuh senyuman. Ketika aku ingin menghubungi keluargaku, tiba-tiba ada chatt masuk di salah satu sosial media yang ada di handpone ku dan itu sangat aku kenal. “Mas Didut” panggilan kesayanganku buatnya yang memang dari dulu tidak pernah aku rubah. Aku bagai tak percaya, ku coba untuk tak menghiraukannya namun aku benar-benar penasaran. Ya, dia orang yang slama ini aku rindukan keberadaannya. Lelaki yang telah merubah hidupku. Dengan hati berdebar-debar aku membuka pesan singkat itu, aku buka aplikasi itu dan aku baca pesan singkatnya.
Mas Didut
“Selamat ya J gunakan ilmu yang kamu peroleh selama ini dengan sebaik-baiknya“
Dalam hati aku bertanya-tanya, apa maksudnya ini? Apakah mungkin dia mengetahui yang telah terjadi padaku? Benarkah ini dia? Meski sedikit tak percaya aku pun membalasnya.
Saya
“Iya terimakasih, makasih ya mas atas ucapannya? J namun kamu tahu dari mana mas? Perasaan sudah beberapa bulan ini kita tak pernah saling komunikasi lagi.”
Tak ada jawaban darinya, dan aku pun mengirimkannya pesan kembali kepadanya.
Saya
“mas aku kangen, L
Tetap tidak ada jawaban dari dia, aku pun kecewa. Hemm yasudahlah, mungkin dia sedang sibuk, pikirku. Ku hubungi ibuku dan memberikan kabar bahagia kepada beliau, ucap syukur terlintas di ujung sebrang sana, karena mendengar kabar bahagia ini. Aku menangis seketika, aku terharu mendengar ucap kebanggan ibuku. Kado terindah untuk ulang tahun ibuku maret ini adalah saat wisudaku, ucapku dalam hati. Namun beberapa hal juga yang membuatku sangat sedih, yaitu ketika wisuda nanti, aku tak dapat berdampingan dengan dua lelaki yang sangat aku sayang, yaitu ayahku dan dia tentunya.

***

   Hari demi hari aku jalani dengan biasa saja, dengan orang yang sama, tempat yang sama dan doa yang sama juga. Hampir setiap hari aku melantunkan cerita-ceritaku kepadaNya untuk sedikit menenangkan hatiku dari kerinduan-kerinduanku yang slama ini aku rasakan. Ya, rinduku pada sosok lelaki itu, Muhammad Aditya Fatih.
Hari ini aku berada di barisan paling depan, duduk bersama beberapa teman seperjuanganku yang telah dinyatakan lulus, memakai baju kebaya dengan toga yang menutupi tubuh kami, berdandan bak putri raja yang akan dinikahkan dengan seorang pangeran. Tapi hatiku tak sebahagia itu. Lelaki yang aku harapkan kehadirannya, lelaki yang aku nantikan janjinya entah dimana dia sekarang. Aku dandan bak seorang putri, namun pangeranku samar-samar, atau bisa dikata tak ada. Kulirik beberapa bangku tamu, terdapat beberapa orang tua atau wali mahasiswa yang telah lulus dinyatakan lulus. Ya, tentu saja ini adalah acara wisuda. Kucari orang yang sangat aku sayangi, ibu dan adikku. Mereka tersenyum ke arahku, hatiku pun sedikit lega karenanya. Berbagai rentetan acara telah dilaksanakan dengan baik, bahkan sangat baik tanpa satu kesalahan pun, namun entah mengapa hatiku tak tenang dari tadi. Seperti ada yang kurang.
Selesai acara, aku berkumpul bersama keluargaku. Ternyata mereka yang aku harapkan datang semua. Meski yang memasuki gedung hanya ibu dan adikku, mereka menungguku penuh harap di luar. Sungguh bahagianya, meskipun ada satu orang yang aku harapkan tidak ada saat ini. Mencoba menguatkan hatiku dengan melihat beberapa keluargaku yang menyambut bahagia kelulusanku ini, aku tak mau mengecewakan mereka semua.
Aku berfoto-foto bersama keluargaku. Momen yang tak akan pernah bisa terulang lagi. Aku abadikan beberapa kegembiraanku hari ini, berpose ria bersama sepupuku tercinta, adikku dan dengan ibuku. Hari ini memang sangat bersahabat, awan yang sedikit gelap mengitari kami namun tidak menumpahkan tetesannya ke alam semesta ini. Sejenak aku kembali megingatnya, aku sangat merindukannya, dimanakah dia sekarang Tuhan? Apakah aku masih bisa bertemu dengannya? Hanya harapku kepadaMu agar dia slalu dalam lindunganMu Tuhan.. gumamku dalam hati. Bunyi handponeku mengagetkanku yang saat itu sedang membayangkan wajahnya. Dengan malas aku buka kunci layar handponeku. Ucapan selamat datang dari teman-teman, sahabat, dan juga dari anak-anak organisasiku. Sungguh bahagia hati ini. Namun ada satu pesan yang sangat aku tunggu dari dulu. Aku buka deangan perasaan berdebar-debar.
Maz Didut
“Selamat nggeh wanitaku tercinta, kamu cantik sekali hari ini J
Aku coba mengeluarkan aplikasi chattku itu, dan aku membukanya lagi. Aku tak ingin menghayal yang terlalu berlebih. Aku mencintainya, aku sangat menyayanginya, namun aku tak mau menghayal yang aneh-aneh tentangnya hingga membuat  aku kembali terjatuh. Namun aku menunggunya slama ini, ya.. aku sangat merindukannya. Aku buka kembali pesan singkat itu, ternyata itu benar-benar dari dia, apakah dia ada disini? Tanyaku dalam hati. Segera aku pencet reply di handpone ku dan mengetikkan beberapa pertanyaan untuknya. Belum sempat aku pencet send di layar handphoneku, tiba-tiba di depanku ada tangan yang memberikan bunga mawar untukku.
“Selamat ya, kamu cantik sekali” ucap sang pemberi bunga mawar itu. Aku lihat bunga itu, seraya mendongakkan kepalaku melihat siapa gerangan yang memberikanku bunga. “selamat ya, kamu hebat dan cantik sekali hari ini” ucap orang itu dengan penuh senyuman. Tubuhku gemetar hebat, dan tanpa kusadari air mataku pun luruh begitu saja. “lho kok nangis, inget nggak aku dulu pernah bilang apa? Uda gede gak boleh nangis” ucapnya lagi sambil mengusap air mataku.
“mas Adit?” ucapku lirih seakan-akan tak percaya kalau itu benar-benar dia. Dia yang slama ini aku tunggu, aku nantikan, yang slalu ada dalam doaku.
“Iya, ini aku mas Didutmu, katanya dulu pengen diberi bunga? Ini bunganya kok didiemin aja gak diterima” ucapnya sambil terus memandangiku dengan penuh senyuman. Tak ada yang dapat aku katakan, mulutku seakan-akan kaku, hanya ucap syukurku kepada Tuhan yang telah mempertemukan aku kembali dengannya. Bahkan disaat hari bahagiaku saat ini. Ingin sekali aku memeluk sosok itu, namun aku sadar kalau dia bukan makhramku jadi aku urungkan niat itu. Hanya diam dan terus menangis bahagia. Ya Allah, apakah ini jawaban dari doaku slama ini? Engkau yang Maha Kuasa, gumamku dalam hati.
“Mbak..” panggil ibuku dari tempat kami berfoto bersama tadi.
“Eh iya bu, sebentar” jawabku sambil mengusap air mataku. “ayo mas, aku perkenalkan ke keluargaku” ucapku seraya mengajaknya ke tempat keluargaku. “ini keluargaku mas, ini ibuku, adikku, dan bla bla bla” aku perkenalkan dia dengan orang-orang yang juga sangat aku sayangi.
“oh iya bu, saya Adit” ucapnya sambil menyalami tangan ibu dan keluargaku yang lainnya.
“oh ini toh, yang dulu kamu ceritakan” ucap tanteku dan diiringi dengan seyuman menggoda. Aku pun tersipu malu, sedang mas adit hanya tersenyum sambil curi-curi pandang kearahku.
“Ya Allah aku bahagia” ucapku lirih dan tak henti-henti berucap syukur kepadaNya. Aku pandangi wajah tampan di sampingku ini, orang yang sangat aku rindukan dan aku impikan jadi imamku kelak, dia benar-benar nyata. Dia tak mengingkari janjinya. Bahkan dia mengingat keinginanku untuk diberi bunga mawar olehnya. Hemm itu janjinya dulu, dulu sekali tapi dia masih mengingatnya. Aku pun tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Sementara keluargaku masih berkeliling kampusku untuk melihat-lihat area kampus, aku duduk-duduk di taman kampus bersama mas Adit.
“oh iya gimana kabarmu sayang?” ucap dia membuka percakapan.
“idih, sejak kapan kamu memintaku jadi pacarmu mas?” jawabku
“emm gitu ya, yauda kalau begitu siang ini detik ini aku memintamu untuk menjadi istriku. Will you merry me?” ucapnya sambil memegang telapak tanganku dan menatapku dalam-dalam.
“kamu serius mas?” ucapku tak percaya.
“kurang serius apa aku sama kamu? Kan dari dulu aku bilang aku sayang kamu”
“tapi kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Meninggalkan berbagai pertanyaan yang slama ini tak aku dapatkan jawabannya?” tanyaku.
“kan aku dulu ingin melihat perubahanmu dulu, ternyata kamu berusaha keras dan benar-benar telah berubah, aku bangga” jawabnya sambil mengusap kepalaku yang saat itu dibungkus oleh hijab.
“sebelum aku jawab, ada beberapa pertanyaan yang harus kamu jawab mas” ucapku
“emm ribet kamu, dasar” ucapnya sambil mencubit hidungku. “yauda silahkan tuan putri, apa yang akan anda tanyakan kepada saya?” tanyanya lagi sambil berggaya bagai pelayan yang sedang bicara pada tuan putri.
“ih apaan sih mas,” ucapku malu. “emm, yang pertama darimana kamu tahu saat itu aku sedang sidang dan telah lulus? Yang kedua, seperti saat itu, dari mana kamu tahu juga aku sekarang  wisuda? Bahkan kamu bilang aku cantik. Apakah dari tadi kamu memang sudah mengetahui keberadaanku? Dan yang terakhir kenapa kamu menghilang slama ini? Padahal kamu tahu aku sangat membutuhkanmu, aku merindukanmu”
“emm panjang juga pertanyannya, hehehe” ucapnya “yang pertama, aku tahu kamu sidang skripsi waktu itu karena ada beberapa temanku yang memang berteman juga denganmu mengetahui itu, dan dia mengatakan sidangmu sukses. Makanya aku mengirimimu beberapa pesan. Namun maaf aku gak bisa balas pesan balasanmu hehe, aku sengaja sih” lanjutnya.
“kok jahat sih mas, dasar” ucapku ngambek.
“ih.. jangan ngambek dulu dong, mau dilanjutin gak jawabannya?”
“emm, iya deh hehehe”.
“yang kedua, aku tahu wisudamu kali ini karena pak Budi. Kamu masih ingatkan pertemuan kita yang tidak sengaja waktu di lobi? Pertama memang aku tidak mengenalimu karena penampilanmu telah berubah, namun karena pak Budi memanggilmu dengan nama asli yang sangat aku kenal maka aku dapat memastikan kalau itu kamu, dan di parkiran ketika aku berterimakasih itu aku sudah tahu kalau itu kamu dek, maaf ya..” dia diam untuk beberapa saat dan melanjutkan ucapannya kembali “aku dari tadi sudah disini, bahkan aku tahu ketika kamu maju ke depan tadi. Kamu sangat cantik sekali hari ini dan aku sangat bahagia melihatmu lagi.”
“kok jahat gitu? Terus untuk alasan apa kamu tak memberi kabar sama sekali? Dan tak membalas pesanku kala itu?”
“idih, dasar loading lama” ejeknya. “aku emang sengaja gak bales, yang pertama karena aku memang gak mengharapkan balasan apa-apa, yang kedua karena aku sibuk. Terus, aku sebenarnya bukan menghilang, namun aku hanya memantapkan hatiku aja. Aku ingin melihat kamu berubah dulu, aku ingin kamu tidak lagi manja, bisa mandiri dan mengontrol hidupmu meski tanpa aku. Aku ingin itu semua demi kebaikanmu, dan karena aku yakin kamu juga masih sangat menyayangiku makanya aku kesini.” Jelasnya. “jadi gimana ini? Diterima atau tidak?” tanyanya kembali.
“kamu pasti sudah tau jawabannya mas, tanpa harus aku ucapkan. Kamu tahu aku masih sangat menyayangimu. Dari dulu aku menunggumu, aku merindukanmu menjadi yang halal buatku” jawabku sambil tersenyum.
“alhamdulillah” ucapnya sambil mencubit pipiku.
“ih… sakit tau mas.. dari tadi main cubit, bedakku luntur ini gimana? Hehehe” ucapku manja seraya menyenderkan kepalaku di bahunya.
Hari ini adalah hari paling membahagiakan buatku. Tuhan telah menjawab setiap doaku. Aku teringat salah satu ayat dari surat Ar Rohman yang artinya “Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang akan kamu dustakan?” ya, ayat itu benar-benar nyata. Beberapa kali bahkan sudah terlalu banyak aku diberi nikmat olehNya. Sudah terlalu banyak doa-doaku terjawab. Terimakasih Tuhan.. ucap syukurku selalu aku panjatkan untuknya.
Dihari bahagiaku, yah… dibulan yang sama ketika dia tiba-tiba menghilang, satu tahun lalu. Namun kali ini dia datang bukan tuk pergi lagi. Bagai penyu yang telah dilepas dan akan kembali ke tempatnya menetas untuk kembali bertelur. Tuhan menyimpan segenap rahasiaNya untuk membuat hambaNya lebih kuat, lebih tegar. Tuhan tahu kapan Dia akan mengembalikan sesuatu yang hilang, Dia tahu bagaimana kehidupan hambaNya akan lebih berarti, Dia menyimpan segenap rahasia untuk membuat hambaNya jauh lebih bahagia dari yang diinginkan. Keyakinanku pun kembali terjawab kali ini.



Jhamie 08/03/15

Butiran Kristal di Atas Sajadah Ema



Sayup-sayup terdengar kicauan para burung yang sedang bernyanyi riang meramaikan suasana pagi ini, bak penyanyi profesional yang sedang bernyanyi bersama dengan nada-nada indah nan mempesona. Kala itu, setelah para jama’ah sholat shubuh meninggalkan belantara masjid satu per satu. Akhirnya masjid itu pun kososng dan tertata rapi seperti sedia kala. Disusul dengan matahari yang perlahan mulai ke luar dari peraduannya. Terlihat seorang wanita cantik paruh baya sedang membersihkan halaman rumahnya pagi itu.
“Ya Allah.. sudah jam berapa ini Ema belum bangun juga” ucap wanita paruh baya tersebut yang mempunyai nama lengkap Windi Haryaning Putri. Disandarkannya sapu yang tadi dia pakai di tembok depan rumahnya dan bergegas masuk ke dalam rumah. Tok tok tok… suara ketukan pintu kamar Ema.
“Ema, bangun nak..” ucap bu Windi berkali-kali di depan kamar putri tercintanya tersebut. Namun, apa yang dinanti tak juga terkabulkan. Siti Fatimah, nama lengkap putrinya yang kerap dipanggil Ema tak juga beranjak dari kamarnya. Pada akhirnya bu Windi masuk ke kamar putrinya dengan menggunakan kunci lain yang tersimpan di ruang tengah rumahnya. “Masya Allah.. Ema, bangun nak.. Matahari sudah tinggi dan kamu belum sholat shubuh” ucap bu Windi yang sudah berada di samping putri tercintanya tersebut.
“Ehmm… masih ngantuk bunda..” Ema kembali menarik selimutnya dan mennutupi wajahnya dengan guling.
“Ema sayang, bukankah kamu hari ini ada ujian sekolah? Kamu hari ini telat sholat subuh lagi, mau jadi apa kamu nak? Bangun sayang… sudah siang ini, sudah hampir jam 7.” Bu Windi kembali menasehati Ema.
“Apa bunda? Jam 7?” ucap Ema kaget langsung bergegas meloncat dari tempat tidur. Secepat kilat dia ke belakang rumah untuk mengambil handuk yang diletakkan di jemuran belakang dan bergegas masuk ke kamar mandi. Bu Windi yang menyaksikan itu hanya dapat menggelengkan kepala sambil membatin ‘Ya Allah.. berilah hamba kesabaran dan kekuatan dalam mendidik anak hamba ke jalanMu, dan tolong tunjukkan jalan yang baik untuk anakku Ya Robb’.
***
“Bunda, Ema berangkat dulu ya.. Assalamu’alaikum” teriak Ema setelah mencium tangan bundanya sambil membenahi pakaiannya dan berlarian ke luar rumah.
Pemilik nama Siti Fatimah pun berlarian ke halte bus di depan gang rumahnya itu. Siti Fatimah yang kerap dipanggil Ema adalah seorang gadis tomboi yang berwajah cantik berambut hitam ikal sebahu, dan berkulit kuning langsat itu berumur 18 tahun kurang 3,5 bulan. Dia bersekolah di SMA Nasional Surabaya dan sedang duduk di kelas XII. Siti Fatimah mempunyai tubuh yang kecil namun sangat aktif dan tidak bisa diam. Di sekolah, di rumah, maupun di tempat-tempat lain ada saja yang dia kerjakan. Namun begitu Ema merupakan gadis yang suka membaca, oleh karenanya Ema bisa masuk peringkat paralel di sekolahnya. Tapi, ada satu hal yang sangat dibenci oleh para arjuna yang jatuh cinta padanya, yaitu sifat cueknya kepada setiap lelaki dan hanya ada beberapa saja yang bisa membuatnya menjadi Ema dengan sifat aslinya, yakni cerewet dan slalu tersenyum. Slalu karena cuek, Ema sering dibilang sombong atau sok jual mahal, tapi Ema tetaplah Ema, tetap dengan cuek dia tak memperdulikan semua omongan itu.
   Pagi itu, hampir saja Ema telat masuk kelas. Memang begitulah Ema. Tiba di ruang kelas selalu 2 menit sebelum bel berbunyi, ada ataupun tidak ada ujian pun sama. “huh huh huh.. untung saja tidak telat” gumam Ema seraya mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor ujiannya.
“Telat bangun lagi ya kamu?” tanya seorang lelaki dengan wajah cool di samping tempat duduk Ema. Ema pun hanya cengengesan.
Hari-hari penuh ujian pun dilalui Ema dengan penuh semangat karena pada bulan inilah penentuan nasibnya selama tiga tahun menempuh pendidikan di SMA Nasional Surabaya.
***
Hari ini, tepat tanggal 26 Mei 2012 adalah hari pengumuman kelulusan bagi seluruh siswa SMA/MA/Sederajat di Indonesia. Tepat pukul 07.00 WIB seluruh siswa di SMA Nasional Surabaya kelas 3 sudah berada di aula sekolah untuk mendapatkan pengumuman tentang kelulusan mereka. Dilalui dengan hati yang berdebar-debar, akhirnya diketahui juga oleh seluruh warga sekolah bahwa seluruh kelas 3 di SMA Nasional Surabaya lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, begitu juga dengan Siti Fatimah. Namun, hari itu terlihat ada yang berbeda di raut muka Ema.
“Sudahlah ma, jangan terlalu di fikirkan.. toh kamu juga termasuk pada beberapa anak dengan nilai yang sangat bagus kan? Bersyukur sajalah” ucap lelaki tertampan di sekolah itu yang mempunyai nama Muhammad Rizky Alamsyah yang juga menjadi sahabat Ema sejak kecil.
“Iya sih Am..” jawab Ema dengan memanggil nama kecil lelaki itu “tapi..” ada gurat kekecawaan di wajah Ema. Namun, sang lelaki yang tadi berada di sebelah Ema pergi begitu saja tanpa mendengarkan ucapan Ema barusan. “ih dasar ni anak..” lanjut Ema dengan wajah yang semakin cemberut.
Hari demi hari dilalui Ema dengan penuh rasa kecewa. Pengumuman tidak diterimanya Ema di Perguruan Tinggi Negeri favorit kala itu membuatnya semakin sedih dan kecewa. Sempat dia berfikir bahwa Tuhan tidak adil dengannya, namun bu Windi slalu mendampingi dan menyemangati putrinya tersebut. Pada akhirnya, suatu hari Ema pun lolos saat mengikuti tes di salah satu Perguruan Tinggi Negeri meskipun pada mulanya Ema tidak berniat sedikitpun untuk meneruskan pendidikannya di sana. ‘yah.. apa boleh buat, daripada tidak melanjutkan pendidikan’ batin Ema kala itu.
***
Berada di kampus itu ternyata tidak seperti yang dia bayangkan. Hari-hari di sana dilalui Ema dengan biasa saja tanpa ada yang berharga. Meski Ema merupakan salah satu mahasiswa favorit disana, Ema tak berfikir itu adalah salah satu yang membanggakan pada dirinya. Apalagi, kini dia telah jauh dengan Aam yang mempunyai nama lengkap Muhammad Rizky Alamsyah, sahabatnya yang kini menempuh pendidikannya di kota yang berbeda.
Kampus merupakan dunia baru bagi Ema, tanpa teman dan sahabat-sahabatnya seperti dulu. Di sana, dia selalu merasa sendiri meski banyak teman yang selalu mengelilinginya. Di kampus itu, dia banyak berteman dengan para lelaki karena mempunyai hobi yang sama dengannya yang terkenal tomboi itu. Kedekatannya dengan banyak teman  lelaki malah membuatnya sering pulang malam ke kosannya dan juga lalai akan kewajibannya untuk beribadah kepada Allah. Ema pun slalu resah setiap harinya, tanpa dia tahu mengapa dan dia tak pernah bersyukur atas apa yang pernah dia dapatkan. Selalu kurang dan kurang yang ada di fikiran Ema.
Satu semester sudah dilalui Ema dengan biasa saja menurutnya, hingga libur semerter ke dua pun dimulai. Dan betapa bahagianya Ema, ramadhan kali ini pun terjadi di saat dia libur semester.
***
“Halo sayang.. dimana kamu sekarang?” nada sapaan awal dari seseorang yang menelpon Ema dengan nomor baru di Handphonenya itu.
“Di rumah, siapa ini..” jawab Ema yang memang saat itu sedang menikmati liburan semesternya di rumah.
“Tebak dong siapa aku” ucap si penelphon tersebut. Ema pun diam dan berfikir ‘eh tunggu bentar.. yang memanggilku sayang di awal telpon kan cuman..’
“Aam.. ih.. sombong banget kamu gak pernah bisa dihubungi lagi..” ucap Ema kepada sahabatnya tersebut dengan nada kerinduan.
“Maaf sayang, bukannya sombong tapi memang lagi sibuk aku, biasalah.. orang ganteng selalu banyak kerjaan hehehe... aku juga rindu tau sama kamu, Ini juga sudah ku telphone kan?” jawab Aam yang sepertinya tahu apa yang dirasakan Ema saat itu.
“Sama aja. Sebel aku sama kamu..” air mata Ema pun perlahan menetes. “Am.. aku rindu masa-masa seperti dulu, di sana itu tidak nyaman. Gak ada bunda dan juga gak ada kamu am, semuanya seperti hampa dan bla bla bla..” Ema pun menceritakan semua kejadiannya sehari-hari kepada sahabat tercintanya tersebut.
“Sudah ceritanya?” tanya Aam setelah Ema selesai bicara. Diam tak ada sahutan. “Ngomong-ngomong puasa gak kamu sekarang? Jangan-jangan uda buka lagi hehehe” goda Aam mencairkan suasana.
“Idih.. apaan sih kamu, ya puasalah”
“Hmm.. yasudah, besok malam sehabis sholat tarawih ikut aku ya, tak jemput ke rumahmu.. gak boleh nolak. Pakai baju putih dan kerudung putih” ucap Aam. “kalau bisa pakai rok panjang” lanjut Aam seraya menutup telponnya. Ema pun hanya di buat diam keheranan.
Malam berikutnya, sesuai apa yang dikatakan oleh Aam kala itu. Pukul 20.00 WIB di depan rumah Ema sedang berdiri seorang pemuda tampan menggunakan baju kokoh putih dengan memakai sarung dan peci terlihat sedang menunggu seseorang. Bu Windi pun dikagetkan oleh pemuda yang berdiri di depan pagar rumahnya ketika hendak mengunci pagar rumahnya tersebut. “lho ada mas Aam.. kenapa gak masuk aja? Nungguin Ema ya?” tanya bu Windi.
“Eh iya, tidak usah tante biar di sini saja” jawab Aam dengan sopan.
“Tuh Ema sudah ke luar” ucap bu Windi yang di iringi dengan pandangan Aam ke arah wanita yang sedari tadi ditunggunya tersebut. Rasa kagum pun terbesit di fikiran Bu Windi dan juga Aam. Rasanya, seperti melihat bidadari cantik yang turun dari surga. “Subhanallah, putri bunda cantik sekali memakai kerudung seperti ini, kenapa tidak dari dulu saja, betul tidak am” lanjut bu Windi memuji putrinya.
“Eh iya tante,” jawab Aam dengan gugup karena takut ketahuan sedang mengagumi kecantikan Ema.
“Iih.. apaan sih bunda” ucap Ema dengan nada malu. “Yasudah, Ema pergi dulu ya bunda… Assalamu’alaikum” lanjut Ema yang dibarengi Aam di belakangnya. “Ngomong-ngomong kita mau ke mana am?” tanya Ema memecah keheningan.
“Ke sana tuh” ucap Aam sambil menunjuk ke tempat di mana banyak sekali orang-orang berpakaian seperti dirinya dan sahabatnya itu. Seakan mengetahui kebingungan wanita di sampingnya, Aam pun melanjutkan ucapannya sambil tersenyum, “Kita mau shalat tasbih bareng dengan mereka, hari ini kan malam ganjil bulan ramadhan, tepatnya malam ke 27 bulan ramadhan. Semoga aja kita mendapatkan hidayah dari Allah dan bisa menjadi manusia yang lebih baik”.
Setelah memarkir mobilnya, Aam dan Ema pun menuju tempat berkumpulnya para orang-orang shaleh tersebut. “Banyak banget ya yang ikut” ucap Ema seraya memerhatikan sekelilingnya dan hanya di jawab Aam dengan senyuman. Mereka pun berpencar untuk mengambil wudhu dan menempati tempat yang sudah di sediakan untuk laki-laki sendiri begitu juga untuk wanita. Mereka berdua pun mengikuti acara dengan sangat khusyuk, apalagi Ema yang sedari tadi konsentrasi mendengarkan tausiah dari Kyai yang memimpin acara tersebut.
Sejenak Ema pun menunduk. Merenungi apa yang telah dia lakukan selama ini. Tidak seperti yang dikatakan Kyai itu, Ema lebih-lebih telah menjadi manusia yang jauh dari rasa syukur. Dia selalu merasa kurang dalam hidupnya, bahkan dia pernah menilai Tuhan itu tidak adil. Dari tausiah tersebut, Ema juga merasa bahwa selama ini dia telah melakukan banyak dosa. Mengumbar auratnya disetiap tempat, dan yang lebih parah juga sering melalaikan shalat fardhu. Tak terasa air mata Siti Fatimah pun perlahan menetes. Apalagi setelah dia mendengar apa balasan bagi orang yang tidak menutup aurat di depan laki-laki yang bukan mukhrimnya serta tak mengerjakan sholat fardhu.
“Ya Allah Ya Robby.. Tuhanku yang Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.. Ampuni hamba Ya Robb.. ampuni segala kesalahan hamba yang terdahulu, janganlah Engkau siksa Alm ayahanda hamba karena kesalahan hamba di masa lalu. Maafkan hamba Ya Robb..” ucap Ema lirih dengan penuh penyesalan. Tausiah pun selesai, para jama’ah beranjak berdiri dan memulai sholat tasbih dengan dipimpin oleh Kyai tersebut. Ema mengikutinya dengan sangat khusuk, tak sedikitpun rasa kantuk menjalari matanya, meski jam saat itu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Di sujud terakhirnya, Ema merenungi segala kesalahan yang telah ia lakukan selama ini. Dia meminta ampun kepada Allah dan tak terasa, butiran-butiran beningpun mulai berjatuhan membasahi sajadah Ema saat itu. Malam itu, Ema merasa batinnya sangat tenanag. Dia serasa menemukan seseuatu yang baru, dan merasa sangat ringan menjalani kehidupannya lagi.
Semenjak saat itu, Ema tidak pernah telat sholat fardhu bahkan sholat sunnah pun selalu dia kerjakan. Dia tidak lagi menjadi Ema yang dahulu. Dia kini telah menjadi wanita muslimah dengan balutan kerudung yang menutupi kepalanya. Bu Windi pun sangat bersyukur dan bahagia melihat perubahan Siti Fatimah, putri tercintanya tersebut. tak henti-hentinya bu Windi berucap syukur kepada Allah atas apa yang telah diberikanNya kepada bu Windi. ‘Sungguh besar karuniaMu kepada kami Ya Robb..’ ucap bu Windi dalam doanya kali itu, ‘ayah.. putri kecilmu kini telah menjadi dewasa’ lanjut bu Windi sembari meneteskan air mata kebahagiaan.



Jumat, 12 Juli 2013

Nyanyian Rindu Seorang Jelita

Pagi yang kelabu menghadang di ujung pintu
Lembayu merunduk malu kepada sang melati
Udara pagi yang kelam meambah dinginnya rasa yang tlah lalu
Oh Tuhan.. jadikan hari-harinya semakin bercahaya
Dengan hiasan dinding yang tak pernah ia duga

Pagi itu, berjuta-juta rintihan air hujan mengguyur kota Jakarta. Tulisan SMA 15 Jakarta terpampang di depan gedung sekolah itu. Terlihat seorang cewek manis, bertubuh mungil. Ia mempunyai warna  kulit yang kecoklatan, hidungnya mancung karena ia keturunan Arab, dengan rambutnya yang lurus sebahu dan selalu terlihat lipatan pada bahu seragam sekolahnya. Namanya Icha ya… kepanjangan dari Siti Khodidjha. Ia sedang menatap menerawang jauh di balik tirai kaca ruang kelas XI IA 3 di sekolah itu. Ruang kelaspun gaduh, karena guru yang mereka nantikan tak kunjung datang. Si mungil itu tak peduli akan keramaian disekitarny, ia hanya ingin sendiri kala itu, ia hanya ingin merenung, menangis dan teriak.
“heh, Siti… ngelamun aja loe, ngelamunin gue yaaa.. hehehe” goda salah satu teman cowoknya yang slama ini selalu bertengkar dengannya. Icha yang menyadari namanya di panggil hanya melirik kea rah cowok itu namun pandangannya kembali tertuju di balik tirai kaca.  Beberapa detik beberapa menit dan hampir satu jam ia melamun. Tak menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya.
“Siti Khodidjah..” panggil orang itu, namun orang yang dituju tak jua menoleh. Sekali lagi ia memanggil “Siti Khodidjah”. Icha pun yang merasa namanya di panggil menoleh kearah orang itu. Dan ternyata beliau adalah bu Endah, guru fisika terkiler di sekolah itu.
“oh eh, ibu sudah ada disini toh..” sahut Icha spontan.
“ohh.. ternyata kamu dari tadi tidak memperhatikan saya.. bagus bagus… sudah, kamu ke luar saja tidak usah mengikuti pelajaran saya”. Suruh bu Endah.
“iya bu” Icha pun hanya pasrah toh, dia juga yang salah.
Dedaunan yang basah karena hujan yang baru terjadi menambah kesunyian di siang itu. Terlihat anak laki-laki kelas sebelah sedang bermain basket di lapangan basket. Di taman sekolah ia-pun duduk termenung sendiri, kembali ke lamunannya yang tadi. “ayah, aku rindu” ucapnya tak jelas. Tak terasa, jatuhlah buliran bening dari rona mata coklatnya. Ia-pun semakin terisak ketika ingat akan kehidupannya sekarang yang begitu menyedihkan. Di rumah, ia yang selalu di marahi oleh bundanya, sampai di sekolah-pun ia tak tenang. Seluruh pelajaran yang ia terima tak sedikitpun bisa  masuk dalam pikirannya. Yang bisa menghiburnya saat ini hanyalah kegiatan dalam salah satu ekstrakulikuler di sekolahnya. Ya, hanya di situlah ia dapat bertahan, karena sahabatnya pun kini tak peduli lagi akan cerita hidupnya.

Berjuta-juta bintang hiasi pesona,
Merajut kata dalam damai,
Langit kian cerah
Bak bayang-bayang cahaya samudra di ufuk barat
Namun sayang, sang qolbu terlanjur menepi…
Tak peduli siapa yang merajut mimpi
Lirih mentari terpaan awan,
Tersandung ombak akan kehampaan
Diterpa agin yang kian kelam….

Terlihat sebuah rumah sederhana nan rindang. Dedaunan mengeluarkan suara ketika diterpa sang angin. Bitang-bintang terlihat sedang tersenyum pada dunia. Cuaca malam itu begitu cerah, langit seakan memberi harapan pada pemuda pemudi untuk melabuhkan kerinduan asmara malam itu. Ya, malam ini adalah malamnya para anak-anak remaja, tepatnya yakni malam minggu. Tak secerah malam ini, hati si cewek mungil malam itu begitu galau. Sepi dan sendiri di kegelapan malam. Sendiri di atas ayunan, dan melamun di pilihnya karena tak ada lagi yang bisa ia lakukan malam itu. Pandangan kosong menerawang ke belakang, menyelinap ke dalam relung-relung hati berisi kerinduan yang mendalam yang tak pernah ia kira selama ini. Jemari-jemari mungilnya kian erat menggeggam sebuah kotak mungil. Setitik butiran-butiran bening membasahi pipinya yang lembut. Ayah, aku rindu padamu, ucapnya dalam hati.
“Ichaa…” teriak bundanya dari dalam rumah. Namun, ternyata yang di panggil tak jua membalas. Bundanya segera keluar dan mencari dia. Akhirnya sesosok anak manusia yang dicarinya sedari tadi pun ketemu. “heh, melamun aja… bantuin adikmu gih” suruh bundanya.
“iya bund,..” jawab Icha sembari berdiri dan merapikan pakaiannya. Ia berjalan gontai di samping bundanya. Icha, seorang anak perempuan yang sifatnya sedikit mirip laki-laki dan sangat tegar. Ia mempunyai adik laki-laki yang berumur 13 tahun, adiknya tak seperti dia. Ayahnya sudah lama meninggal karena serangan jantung yang didera kala itu. Kini ia hanya tinggal bertiga bersama adik dan bunda yang sangat ia sayang. Namun, tak tahu kenapa ia slalu merasa kalau bundanya lebih memihak ke adiknya daripada ia.
“kerjakan ini” ucap adiknya ketika ia sudah berada di dalam rumah. Sontak ia menolak dan hanya mau memberi tahu cara penyelesaiannya karena ia mau adiknya benar-benar mengerti. Namun adiknya pun menolak dan tak mau belajar. bundanya pun langsung marah ke Icha Kena marah lagi kena marah lagi, keluhnya dalam hati. Icha menjelaskan alasan tak mau mengerjakan tugas adiknya tapi bundanya tak mau tahu itu. Ia pun menangis dalam hati. Selalu saja, apa yang ia katakana dan kerjakan selalu salah di mata bundanya tercinta. Terkadang ia tak kuat menahan beban perasaannya itu, pernah terpikir olehnya tuk meninggalkan rumah tercintanya itu namun tak sanggup tuk pergi menjauh dari ibunda dan adik tercintanya itu.

***
           
Tiga tahun sudah Siti Khodijah atau yang kerap dipanggil Icha itu belajar di SMA 15 Jakarta. Kini, ia telah lulus. Namun, ia ,merasa berat tuk meninggalkan sekolah tercintanya itu. Terlalu indah tuk dikenang ucapnya dalam hati. Sahabat-sahabatnya yang slalu setia tuk menemani, teman-teman di ekstrakulikulernya dulu yang sangat ia senangi dan kenangan-kenangan di dalam kelasnya. Hari ini, ia memakai kebaya dan berkerudung pula, anak yang biasanya tomboy itu terlihat cantik dengan hiasan yang melekat di badannya. Ia memakai sepatu hak tinggi. Tak kuasa menahan tawa sahabat-sahabatnya ketika ia melihat Icha yang berbalutkan kebaya dan sepatu hak tinggi.
“hahahahaha,…… mimpi apa loe tadi malem kok bisa seorang Icha memakai hak tinggi begini” ucap Agra salah satu teman akrabnya itu.
“masih tidur mungkin dia, makanya gak sadar” sahut Dicky.
“pantesan masih bau pesing, abis ngompol ya loe” celoteh si Rusli yang langsung di sambut tawa oleh semua orang. Icha pun hanya cemberut, 
“dasar kurang ajar, gak tau ea tuan putri cantik begini dibilang ngompol” balas Icha sambil bergaya bak seorang putri. Sontak semuanya pun tertawa.
“hahahahahaha, Tuan putri dari Hongkong apa??” ucap Wilda.
“eh, ngomongin apaan sih?” Hanin pun bingung apa yang mereka omongin sedari tadi.
“aduh… dasar lemot loe” timpal Desy. Semuanya pun tertawa. Meskipun terkadang para sahabatnya itu ngeselin hati, namun Icha sangat menyayangi mereka semua. Tak pernah dulu ia terpikir punya sahabat yang sangat dekat buatnya. Namun kini, sudah harus ia tinggalkan karena semuanya memiliki tujuan yang berbeda-beda. Hari itu terasa sejuk dalam hati, dengan khidmad suasananya wisuda pelepasan kelas XII kala itu. Namun hanya Icha yang merasa tak tenang. Ia selalu menoleh ke belakang tuk memastikan dimana nian bundanya tercita itu. Dari tadi pagi ia tak melihat bundanya. Hatinya pun resah tak karuan. Apa mungkin bundanya lupa hari yang sangat ia tunggu-tunggu itu? Atau mungkin bundanya memang sengaja tak datang mendampinginya. Ahh rasanya nggak mungkin pikir Icha.
Sepulang dari acara wisuda itu Icha tak menemukan seorangpun di rumah tercintanya. Icha  bingung dan menunggu. Sudah lepas maghrib namun tak jua ada yang datang. Tiba-tiba seorang wanita muda cantik terlihat keluar dari sebuah mobil mewah bersama anak laki-laki.
“bunda dari mana?” Tanya Icha.
“bunda dari jalan-jalan sayang, tadi diajak sama mbak Nuri. Maaf ya bunda nggak bisa datang ke sekolahmu ya, kamu kan uda gedhe masak harus di anterin sama bunda,” ucap bundanya.
“bunda kok tega sama aku sih? Tadi tuh acara penting buat Icha bund, semua teman-teman Icha orang tuanya pada datang sementara Icha hanya duduk sendirian selagi mereka berfoto-foto bersama” ucap Icha.
“haduh Icha… kalau masalah foto-foto nanti deh kita foto-foto bareng sekeluarga kan bisa”.
“tapi gak itu maslahnya bund…..” belum sempat Icha meneruskan kaata-katanya.
“yauda deh ini kita bicarain nanti saja, bunda ke kamar dulu, kasihan adikmu capek” ucapnya dan kemudian bunda pun pergi ke kamarnya meninggalkannya sendiri. Tak terasa bulir-bulir beningnya meleleh lagi. Setelah itu Icha berfikir, begitu tak berartikah aku untuknya? Oh Tuhan, aku tak kuat lagi menahan ini semua yang terjadi, maafkan aku Tuhan, jika aku harus pergi.
Malam itu, ia berniat tuk meninggalkan rumah tercintanya itu. Selembar kertas tergolek di atas meja kamarnya. Sebelum ia pergi ia ingat akan sesuatu, diambilnya kotak kecil kesayangannya di dalam almari. Dibukanya kotak itu, kembali meneteslah air matanya.
Tuhan..
Andai dapat memohon,
Kembalikan dia kepadaku,
Tuhan..
Andai dapat ku berkata,
Aku sangat rinduinya,
Tuhan..
Andai dapat ku berharap,
Aku ingin melihat senyumnya,
Tuhan..
Andai Kau karuniai aku sayap,
Aku akan terbang jauh ke tempatnya..
Tuhan..
Tak tahukah Engkau,
Bahwa aku sangat cintainya,
Aku sangat sayanginya,
Ku bagai kehilangan arah,
Bila tiada dia yang menuntunku,
Aku bagai mayat hidup,
Bila tiada dia yang membisikkan kata,
Aku pun tiada dapat bernafas,
Karena hanya dialah oksigen bagiku,
Mengapa wktu itu cepat berlalu,
Mengapa begitu cepat kau pisahkan aku darinya,
Mngapa Tuhan....????

***

            Keesokan harinya bu Nadin pun heran tak melihat anak sulungnya yang biasanya setiap pagi selalu rame di dalam kamarnya. Ia pun pergi ke kamar Icha dan melihat kamar itu rapi dan kosong. Tumben banget si Icha, pikirnya. Ketika hendak beranjak dari kamar itu ia melihat sesuatu yang membuatnya penasaran. Selembar kertas tergeletak di atas meja belajar putrinya. Diambilnya dan dibacanya kertas itu. Biasa saja, nanti juga dia kembali ke sini, toh dari mana juga ia bisa punya uang. Anak cuman bisa ngabisin duit gitu, pikir bundanya Icha. Di meja makan seperti biasanya, si bungsu yang tak melihat kakaknya ada di meja makan itu pun bertanya ke bundanya. Kemana mbaknya itu kok tak terlihat. Namun jawaban bundanya hanya tersenyum dan melanjutkan sarapannya.
            Menit silih berganti. Hari demi hari pun dilalui bu Nadin tanpa putri sulungnya, Siti Khodijah. Semula ia mengira bahwa kepergiannya hanya sementara dan akan kembali ke rumah itu. Namun kini, hampir tiga tahun lamanya Icha tak jua kembali. Kepikiran selalu dengan putri satu-satunya itu, rasa menyesal kini ada dihatinya. Ya Tuhan, maafkan hamba.. batinnya menangis. Ia sangat rindu dengan putri sulungnya itu. Putri kebanggaan alm. suaminya dulu karena semasa hidup suaminya, ia selalu di latih dan dilatih alm. Suaminya tuk selalu jadi anak yang pemberani, sopan, berbudi pekerti yang baik dan pintar. Ya Allah, aku baru menyadarinya kalau selama ini perubahan sikapnya itu gara-gara hamba. Ibu macam apa hamba ini? Tak terasa bulir-bulir bening meluncur deras di pipinya yang putih. Pandangannya kosong. Tiba-tiba ia dikagetkan oleh sentuhan tangan di pundaknya.
            “bunda ada apa sih? Kepikiran mbak Icha ya bund? Udahlah bund, jangan seperti ini terus.. suatu saat kelak mbak Icha pasti kembali” Tanya putra bungsunya itu yang sekarang sudah beranjak remaja.
            “tapi kapan itu? Bahkan sampai sekarangpun dia tak pernah menghubungi bunda, ini semua salah bunda, yang terlalu membedakanmu sama kakakmu itu”. Sayp-sayup suara dedaunan kering terseret oleh angin. Sepasang mata yang menyaksikan dua orang yang sangat ia kenal. Ia sangat merindukan suasana berada di tengah-tengah mereka. Lama nian ia meninggalkannya ingin rasanya ia kembali namun niat itu dia urungkan karena ingat akan janjinya dulu di atas nisan ayahnya, ia akan pergi dan akan buktikan pada bundanya kalau dia bisa sukses tanpa harus menyusahkan bunda tercintanya itu.
           
***
           
Masih terasa dinginnya suasana di pagi hari, adzan subuh baru selesai dikumandangkan. Tepat setelah ia sholat subuh ia mendengar suara pintu kamarnya diketuk. “iya sebentar,”ucapnya. Tak sempat ia berdzikir dan masih dengan mukena putihnya, ia pun membukakan pintunya. “eh, budhe.. ada apa budhe? Kok pagi-pagi gini budhe sudah ke kamar Icha?”
            “owh tidak apa-apa ndug, itu lho.. tadi adikmu sms budhe dan cerita ke budhe, katanya ibumu sakit karena kepikiran sama kamu. Apa ndak sebaiknya kamu pulang ndug? Nggak baik rasanya kamu jadi anak yang nggak berbakti sama orang tua”. Ucap budhe Tutik. Budhenya yang memang dari dulu sudah tahu cerita Icha dan menganjurkannya untuk menuntut ilmu di kotanya saja sehingga ia tak perlu mencari tempat tinggal lagi dan ikut bersamanya.
            “Masya Allah, bunda sakit budhe?” perasaan Icha kaget campur sedih apalagi dia yang menjadi penyebab bundanya sakit. Bagaimanapun itu, bu Nadin tetap bundanya. Rona mata indahnya berkaca-kaca. “iya nanti saya pulang bunda” sambungnya. Budhenya pun terseeenyum.
            “biar nanti Gilang yang ngantar kamu sayang,” dan Icha pun hanya menunduk.

***
           
Tiga tahun lebih, hmm suasananya masih sama, pikir Icha yang baru saja menginjakkan kaki di pekarangan rumahnya. Sayup-sayup ia melihat jendela kamarnya dulu. Kangen rasanya ia pada rumah yang menyimpan sejuta kenangan itu. Tatapannya kini ada pada pintu rumahnya. Apa ia sanggup? Oh Tuhan… kuatkan aku, ucapanya dalam hati. Sembari ditemani mas Gilang, salah satu putra budhenya itu ia berjalan dan terus berjalan hingga berada tepat di depan pintu rumahnya. Sebelum ia mengetuk pintu, ia sempat menoleh ke arah Gilang. Ia pun mengangguk sembari tersenyum. Terdengar suara seseorang mendekati pintu dan mencoba membukakan pintu untuknya.
“Mbak Icha…” ucap seseorang dari dalam yang baru membuka pintu itu dengan kaget namun terlihat senang itu. Tatapan matanya mengguratkan sejuta kerinduan yang terpendam. “mbak selama ini kemana aja? Bunda nyari mbak kemana-kemana tapi nggak ketemu juga, aku juga kangen banget mbak sama kamu”. Disambut dengan ucapan begitu sang punya nama hanya tersenyum. Ingin rasanya ia memeluk adik kesayangannya itu meski dulu pernah buatnya iri. “eh ada mas Gilang juga to, mangga masuk mas” lanjut Dion dengan logat jawanya. Sembari melangkahkan kaki ke dalam rumah, ia memandang sekitar, hmmm masih sama seperti dulu walau ada beberapa hiasan dinding baru di sudut ruang tamunya itu, kata Icha dalam hati. Terbayang masa kecilnya dulu bersama ayah, bunda serta Dion sampai suasana duka siang itu, Minggu, 13 Maret 2003 ketika ayahnya tercinta dipanggil Sang Maha Kuasa. Tak terasa air matanya mengalir mengingat akan masa-masa itu. Tak terasa, kaki telah melangkah sampai di depan kamar bundanya.
“bunda…” ucap Icha dari depan pintu. Sang empunya nama menoleh kearah suara yang memanggilnya itu. Terlihat seorang perempuan cantik berkulit putih dengan lingkar mata yang begitu jelas. Tuhan, ampuni aku yang telah buat orang tuaku seperti ini, ucap Icha dalam hati. Tak kuasa ia berlari dan berlutut dihadapan bu Nadin. Icha memeluk bundanya dengan sangat erat dan tak kuasa melepasnya.
“Icha…” ucap bu Nadin datar. Tak kuasa ia menahan air mata. Putri sulungnya yang dulu selalu ia salahkan kini telah tumbuh menjadi seorang gadis, berkerudung lagi. “maafkan bunda sayang…”
“tidak bund, aku yang harus minta maaf sama bunda”
“sssttt… sekarang kamu berdiri, tatap bunda…” Icha pun menurut perkataan orang tuanya itu, sembari mengusap air mata sang bunda. “kamu tahu kan sayang, bunda sangat menyayangi kalian berdua, maafkan bunda yang telah membedakanmu” lanjutnya.
“tak apa bunda, Icha tak pernah marah sama bunda namun Icha ingin membuktikan kepada bunda,” balas Icha. “hmmm ini bunda,” lanjut Icha seraya memberikan sepucuk surat kepada bundanya. Bundanya pun tersenyum melihat isinya. Ya, kini Icha telah menjadi seorang Sarjana Pendidikan Sosiologi dan menjadi Mahasiswa no 1 di kampusnya. Bahagia rasanya dalam hati bu Nadin, melihat putri satu-satunya itu menjadi seorang Sarjana, “yah.. kini putri kebanggaanmu kini telah berhasil seperti yang kau impikan,” seru bu Nadin dalam hati.

Suasana haru pun terjadi di rumah bu Nadin siang itu. Seseorang yang berdiri di depan pintu pun tersenyum melihat keluarga kecil itu kembali utuh. Guyuran air hujan yang baru saja mengguyur bumi menambah suasana sejuk kala itu. Dedaunan melambai-lambai seolah bergmbira atas kesejukan hati insan siang itu.